Kamis, 23 Juni 2016

Hair Taking


Ini adalah kisah yang kakekku ceritakan saat aku masih kecil. Beliau besar di sebuah desa di pegunungan. Kebanyakan penduduk desa bekerja di kehutanan, dan gunung itu sudah seperti keluarga kedua mereka.
Desa itu juga memiliki seorang tuan tanah, dan dia tinggal di sebuah rumah besar jauh dari siapapun. Dia tidak bekerja di hutan dan lebih memilih menghabisakan hari-harinya dengan bersanyai di rumah.
Kakekku mengatakan bahwa tinggal di sana memang indah, tetapi ada aturan-aturan khusus yang harus kau patuhi di desa itu. Peraturan tersebut adalah:
1.      Hari ketiga setiap bulan, tak seorangpun boleh mendekati rumah tuan tanah kecuali si pengambil rambut.
2.      Tak seorangpun boleh berbicara kepada orang-orang yang mengunjungi rumah tuan tanah.
Pada pagi hari ketiga setiap bulan, orang-orang luar desa akan mengunjungi rumah sang tuan tanah dan kemudian pergi di sore hari. Kakekku tumbuh dengan aturan tersebut dari sejak beliau dilahirkan, jadi beliaupun tak pernah menanyakannya. Mereka seperti sifat kedua untuk beliau, dan begitulah..
Suatu hari, seorang pria bernama Tasuku datang ke desa. Dia membangun sebuah kabin kecil di dekat rumah sang tuan tanah dan mulai tinggal di sana. Para penduduk desa merasa harus memberitahunya tentang peraturan desa, dan kakekku – sebut saja Masaya – ditunjuk untuk berbicara padanya. Masaya cepat-cepat menuju kabin Tasuku dan menceritakan semuanya.
 “Jika kita tidak mematuhi aturan, ini akan menjadi masalah besar,” tuntut Masaya.
Aku heran mengapa penduduk tidak mengusir pria itu saja, dan kakekku menjelaskan bahwa sekitar separuh dari penduduk desa berasal dari tempat lain. Mereka tidak menemukan alasan untuk membuatnya pergi.
Tasuku pun mengatakan ia mengerti bahwa ia harus mematuhi aturan. Akhirnya hari ketiga di bulan berikutnya pun tiba, seorang pria dan wanita yang berusia sekitar dua puluhan dan juga seorang pria berusia sekitar empat puluhan pergi ke rumah tuan tanah. Mereka bertiga berpakaian baik dan memiliki hawa yang menunjukkan kepada penduduk desa bahwa mereka adalah orang berada.
Mengapa orang luar mengunjungi desa ini? Itu berhubungan dengan pengambilan rambut, sebuah metode menghapus kutukan dan segala bentuk kegelapan dari orang-orang. Sang tuan tanah tampaknya telah menjalani pengobatan semacam ini secara turun temurun. Seperti namanya, iblis dihapus dengan cara mengambil rambut. Tetapi, rambut tersebut harus diambil dari perut orang yang menderita. Rambut itu kemudian dibawa ke gunung untuk disegel.
Hari ini pun tak ada bedanya dengan hari-hari ketiga setiap bulan lainnya. Sang pengambil rambut pergi ke belakang rumah untuk mengambil sebuah bungkusan kecil yang menahan rambut, dan mereka pergi ke gunung untuk menyegelnya.
Tetapi Tasuku, yang baru saja menjadi penduduk desa, mengabaikan aturan yang ia berjanji untuk menjaganya. Alih-alih tinggal di rumah, ia justru bersembunyi di semak-semak dekat rumah dan melihat sang pengambil rambut datang dan pergi. Berasumsi bahwa sesuatu yang berharga pasti tersembunyi di dalam bungkusan tersebut, diapun membuntuti mereka bertiga.
Lokasi di mana rambut terkutuk itu disegel adalah di tengah hutan di sebuah kuil kecil. Kuil itu sendiri khusus untuk hal-hal semacam ini, dan sang pengambil rambut bertanggung jawab untuk penjagaannya. Tiga orang tersebut melakukannya seperti yang selalu mereka lakukan di kuil, tak sadar bahwa Tasuku sedang bersembunyi di hutan.
Di dalamnya adalah seikat rambut yang tertutupi darah. Tasuku segera melemparkan bungkusan itu beserta isinya ke pinggir dan lari.
Hari berikutnya kabin Tasuku terbakar api.
Dia berusaha kabur dengan hanya beberapa luka gores, tetapi sang tuan tanah merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dan memanggil pendatang baru ke rumahnya. Tampaknya Tasuku tak menyebutkan apapun tentang hari sebelumnya, tetapi sang tuan tanah bisa melihat bahwa sesuatu telah datang sendiri pada sang pria. Sang tuan tanah mengatakan bahwa jika Tasuku tak ingin mati, Tasuku harus menjalani ritual pengambilan rambut. Jika ia menolak, maka hidupnya akan segera berakhir.
Tasuku menolak. Di akhir hari itu, dia dibuang dari desa. Beberapa hari setelah pengusirannya, rumah sang tuan tanah terbakar habis dengan dia dan keluarganya terjebak di dalamnya. Sesosok mayat mencurigakan terlihat seperti Tasuku ditemukan di reruntuhan rumah yang hangus, dan penduduk desa berasumsi bahwa dia telah membakar rumah tuan tanah sebelum mencoba kabur.
Segera setelahnya, sang pengambil rambut mengunjungi kuil di gunung hanya untuk menemukan bahwa segelnya telah rusak total dan seluruh rambut yang tersimpan di dalamnya telah diambil. Ini hanyalah rumor, tetapi banyak penduduk desa percaya bahwa Tasukulah yang merusak kuil, mencuri rambut, dan kemudian pergi ke rumah tuan tanah. Kekuatan kutukan yang tertahan dalam rambut meledak dalam sekali gerak dan entah bagaimana menimbulkan api yang membakar rumah tersebut.
Setelah sang tuan tanah wafat, desa tersebut berhenti menerima dana dari luar. Akhirnya desa pun kosong dan semua orang pergi.

 “Sejak saat itu, aku takut akan kematian rambut,” kata kakekku, mengelus kepala botaknya.
*** 
Translated by: Kuro-chan
Source: Okaruto

Senin, 20 Juni 2016

The Honking Hearse


Seorang perempuan muda bernama Kana tinggal bersama orang tua dan neneknya. Neneknya selalu punya kebiasaan baik, tapi di tahun-tahun belakangan ini dia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk tidur dan dia menjadi semakin aneh. Dia tak hanya menjadi lebih manja dan lebih sering mengeluh kepada ibu Kana, yang merawatnya, tetapi juga mengatakan hal-hal yang sangat menyedihkan.
 “Kalian mungkin hanya menungguku mati,” dia terus mengulang dan mengulangnya. Mencoba membuatnya nyaman tampaknya hanya untuk menguatkan kepercayaannya. Akhirnya ibu Kana menjadi lebih cengeng dengan perawatannya, dan wanita tua itu berhenti mendapatkan cukup olahraga dan kualitas makanan untuknya menurun secara dramatis. Kesehatannya menurun tajam, dan pada akhirnya dia tak mampu bergerak maupun berbicara, tak pernah beranjak dari tempat tidur. Tempat tidurnya menjadi hidupnya, dan jelas bahwa dia hidup tak lama lagi.
Kamar Kana berada di lantai dua rumahnya, dan suatu malam saat dia tidur, dia terbangun karena suara sirine mobil bergema hingga ke kamarnya. Dia mencoba mengabaikannya dan kembali tidur, tetapi sirine mobil itu terus berbunyi. Mobil itu terus berbunyi, dan Kana pun marah karena tampaknya sang supir benar-benar kehilangan akal sehat.
Dia terdiam di tempat saat melihat mobil itu. Itu adalah mobil jenazah, dan mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dia tak bisa melihat apakah ada orang di dalamnya, tetapi tak tampak mesinnya sedang menyala. Dia memandang keluar selama beberapa saat, tetapi mobil itu terlihat diam saat ia melihatnya. Kana ketakutan dan kembali ke tempat tidurnya di mana dia menarik selimutnya menutupi kepala dan menunggu pagi. Sisa malam itu benar-benar sunyi.
Pagi itu, Kana bertanya pada orang tuanya apakah mereka mendengar sirine mobil jenazah di luar. Mereka tak mendengar apapun. Tak mungkin mereka tak mendengarnya jika mobil itu memang ada di luar sana, tetapi mereka tak tampak berbohong. Dia mencoba memikirkan sebuah alasan mereka mungkin tak mendengar apapun, tetapi hanya satu yang ada di pikirannya. Mungkin mobil jenazah itu datang untuk membawa neneknya. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal. Kana beranjak menuju kamar neneknya, tetapi dia tampak ‘sehat’ seperti biasa, semuanya telah dipertimbangkan.
Mobil jenazah kembali malam berikutnya, dan kemudia malam-malam setelahnya. Kana berusaha mengabaikannya, tetapi cukup aneh bahwa sirine terus berbunyi kecuali saat dia melihatnya. Dia mulai bersikap kurang waras akibat kurang tidur.
Hari ketujuh, orang tua Kana harus pergi mengunjungi seorang kerabat. Dia ingin pergi bersama mereka tetapi seseorang harus tinggal di rumah untuk mengawasi neneknya, dia diminta untuk tinggal. Karena penyakit syarafnya, dia memiliki masalah dalam memahami sudut pandang orang tuanya, dan akhirnya mereka tetap memaksanya untuk kembali ke rumah saat mereka pergi.
Kana takut. Dia tak ingin menceritakan orang tuanya mengapa dia begitu ingin keluar dari rumah, tetapi ketakutannya akan mobil jenazah lebih kuat dari kesendiriannya. Mencoba menghibur diri sendiri, dia menyalakan televisi. Dia terlalu takut akan kamar neneknya, sehingga dia mengabaikannya. Saat tiba waktu makan siang, dia hanya meniggalkan makanan neneknya di luar pintu daripada membawanya ke dalam. Orang tuanya seharusnya kembali saat sore, sehingga dia merasa neneknya akan baik-baik saja saat itu. Tetapi, waktu yang mereka janjikan untuk kembali berlalu tanpa ada tanda-tanda dari mereka.
Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Bel tengah malam berbunyi. Waktu kedatangan mobil jenazah semakin mendekat. Tetapi orang tuanya tak pernah pulang. Mereka bahkan tak menelepon. Kana mendengar sirine mobil jenazah di luar, tepat seperti malamnya minggu lalu. Dia terlalu takut untuk melihat keluar saat dia berada di lantai pertama, dia naik ke kamarnya untuk melihat mobil itu dari jendelanya.
Tetapi ada sesuatu yang aneh.
Biasanya mobil itu tampak kosong, tetapi ada beberapa orang berbaju hitam keluar dari mobil itu. Dia melihat saat mereka mendekati gerbang depan rumahnya. Apakah mereka akan masuk? Kana mulai panik. Bel rumah mulai berdering keras di dalam rumah yang sepi. Siapapun yand ada di pintu menekan bel rumah dengan ritme cepat yang tak berhenti. Deringan bel akhirnya berganti menjadi ketukan lembut di pintu dan perlahan ketukan itu menjadi semakin keras sampai pintu kayu itu terdengar akan patah.
Kana terdiam ketakutan. Tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa pintu depan tak terkunci. Semakin dia memikirkannya, semakin yakin ia bahwa siapapun itu akan bisa masuk ke dalam jika mereka memutuskan mencoba kenop pintu.
Dia melompat dari tempatnya dan berlari ke bawah menuju pintu depan. Tepat sebelum ia menyentuh kundi pintu, telepon di lorong berdering. Ketukan terus berlanjut, tetapi kaki Kana terpaku di tempat. Ketukan keras dan deringan telepon terlalu banyak untuk ditahan. Dia melihat di antara keduanya dan memilih untuk mengangkat telepon.
 “Halo? Halo?! Halo?!” teriaknya di telepon sekeras yang ia bisa sehingga siapapun yang menelepon bisa mendengarnya hingga orang-orang di luar pintu.
 “Apakah ini kediaman Murata?” suara lembut seorang pria di seberang sana bertentangan dengan apa yang sedang dialaminya. Sesuatu tentang tindakan orang itu membuat darahnya membeku. “Aku bersama polisi. Maaf, tapi aku ingin kau tetap tenang saat aku menceritakan ini. Orang tuamu tewas dalam sebuah kecelakaan tadi sore. Kau putri keluarga Murata, kan? Halo? Halo? Apakah kau di sana?”
Kana tak mampu mengatakan apapun ataupun bergerak. Cukup aneh, siapapun yang ada di pintu kini benar-benar diam. Pikirannya mulai berkecamuk. Apakah mobil jenazah itu datang untuk membawa orang tuanya dan bukan neneknya? Jika itu masalahnya, kemudian apa yang terjadi pada neneknya?
Tiba-tiba, Kana merasakan sebuah tepukan di bahunya. Saat dia menoleh, dia kaget melihat neneknya, yang seharusnya tak mampu bergerak, berdiri di sana dengan sebuah senyuman di wajahnya.

 “Kau juga pergi!”

***
Translated by: Kuro-chan
Source: Okaruto

Jumat, 10 Juni 2016

Haunted


Ini terjadi awal tahun ini di sebuah taman hiburan yang terbengkalai tak jauh dari kampung halamanku. Taman itu ditutup dua atau tiga tahun yang lalu, dan aku mendengar rumor bahwa orang-orang tuna wisma berkumpul di sana. Aku, adikku, dan temanku setuju untuk mengeceknya.
Untuk menuju taman itu, kau harus naik gunung, dan temanku mengantar kami dengan mobil. Saat itu tengah musim panas dan sangat panas sehingga kami membuka lebar-lebar semua jendela mobil. Sekitar saat kami mulai naik gunung, aku mulai menyadari agas terbang melayang di dalam mobil. Awalnya aku tak terlalu mempedulikan serangga-seranga itu, tetapi semakin jauh kami mengemudi, agas-agas itu semakin mengganggu. Aku bisa mendengar mereka terbang di sekitar telingaku, dan mereka terbang ke mulut dan mataku. Kami semua sungguh merasa sangat terganggu oleh serangga-serangga itu, akhirnya temanku meminggirkan mobilnya ke tepi jalan dan kamipun keluar.
Sesaat setelah aku menutup pintu mobil di belakangku, aku mendengar suara kucing mengeong dari suatu tempat di dekatku. Aku mencari-cari di sekitar dan melihat seekor kucing putih kurus di sebuah rumpun bambu di seberang jalan. Kucing itu awalnya malu-malu, tetapi kami mengambil makanan kami dan mulai mencuil potongan roti dan melemparkannya ke arah kucing itu. Setelah sempat ragu-ragu, kucing itu pun perlahan datang mendekati kami, selangkah demi selangkah.
Sekali kucing itu melangkah keluar dari bayangan, kami semua terhenyak. Kucing itu kehilangan telinga kanannya, dan darah telah mengering di kepalanya. Mata kanannya pun rusak, dan melihat luka-luka itu membuat hatiku sakit. Aku pikir mungkin seekor hewan yang tersesat telah menyerangnya, dan aku memutuskan memberikan sisa makanan kami berharap bisa membuatnya bertahan lebih lama. Setelah mengosongkan bungkusan roti terakhir yang kami bawa, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan kami ke gunung.
Tepat sebelum kami bergerak, aku melihat kembali kucing itu. Ia makan rotinya secepat yang ia bisa, tetapi dua gagak menukik turun dari angkasa untuk menyerangnya. Aku tak mampu bergerak, tetapi adikku melompat keluar dari mobil dan mulai mengibaskan jaketnya ke sekitar gagak-gagak itu. Gagak-gagak itu meraih beberapa potong roti dan terbang menjauh.
Aku dan temanku keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Kucin itu tergeletak di tanah, darah menodai wajah dan perutnya. Kami berjongkok di samping kucing itu saat nafas kucing itu melambat dan akhirnya berhenti. Kami sepakat sebaiknya kami menguburnya, dan kami membawanya kembali ke rumpun bambu di mana dia berasal. Selama kami memberikan upacara pemakaman mendadak, gagak-gagak itu beterbangan di atas kepala, berkoak-koak untuk kucing mati itu. Karena gagak terkadang akan menyerang manusia, kami terburu-buru secepat yang kami bisa sebelum kembali ke mobil untuk pergi ke taman hiburan.
Saat kami tiba, kami datang menghampiri seseorang yang tampaknya mantan pekerja masuk ke taman itu. Kami melihat-lihat sekitar kami dan masuk ke dalam. Kami berjalan-jalan sebentar, tapi hal terburuk yang kami lihat adalah gelas pecah dan kondom di sana sini. Kami mengambil beberapa gambar dengan kamera polaroid, tapi tak nampak apapun dalam foto.
Tetapi di jalan kami kembali, sesuatu yang terburuk terjadi. Kami melewati sebuah wahana rumah hantu saat kami menyadari sebuah manekin dengan gaun merah yang tampak seolah dibawa keluar. Manekin itu tergeletak dengan punggungnya yang menghadap ke kanan. Tonggeret, yang sedari tadi bersuara sangat keras, tiba-tiba semuanya terbang ke beberapa sinyal yang sama sekali tak kami sadari. Kami semuapun berteriak dan menunduk bersama.
Semua menjadi senyap sesaat setelah tonggeret-tonggeret itu pergi. Tapi itu bukanlah kesunyian yang biasa. Entah bagaimana terasa mati, dan aku mulai berkeringat dingin. Aku melihat ke temanku dan menyadari bahwa dia terpaku di tempat, menatap sebuah titik tanpa berkedip.
 “Kau baik-baik saja?” tanyaku, menempatkan tanganku ke bahunya.
 “Manekin itu... bukankah semenit yang lalu benda itu menghadap kanan?” suaranya bergetar, dan aku pikir dia mungkin menangis.
Dia berbicara tentang manekin yang sekarang langsung ada di belakangku. Aku merasa bulu kudukku berdiri. Aku berbalik dan melihat manekin itu sekarang menghadap kiri – menghadap kami.
Tiba-tiba saja temanku berteriak, dan aku berbalik padanya. Air liur menetes dari mulutnya, dan jemarinya bergerak dalam posisi yang tak wajar seolah bergerak sendiri. Aku terpaku di tempat, tetapi adikku berpikir untuk menggendong temanku di punggungnya. Dia berlari ke arah pintu keluar, dan aku berusaha untuk segera mengikutinya.
Aku tergesa-gesa di depan mereka, memastikan tak pergi terlalu jauh. Tiba-tiba aku mendengar adikku berteriak. Aku berbalik dan melihat temanku mencekik adikku dari belakang. Aku berteriak kepadanya untuk berhenti, air mata mengalir dari mataku, dan aku memukul keras punggungnya dengan tinjuku. Dia mengerang dan melepaskan pegangannya dari leher adikku. Diapun mengambil kesempatan untuk lari menuju pintu keluar lagi. Dia kembali memegang leher adikku, dan aku mulai memukul punggungnya lagi. Kami mengulang proses itu beberapa kali sebelum akhirnya mencapai pintu keluar.
Adikku hampir di puncak kepanikan, dan temanku berjalan dengan aneh kembali menuju pintu masuk seolah ia ingin kembali ke taman. Aku meraih lengannya untuk menariknya kembali, dan dengan kekuatan yang tak pernah kubayangkan datang dari dirinyanya, dia mendorongku jatuh ke tanah. Wajahku mendarat di sebuah tumpukan pecahan kaca, tetapi aku terlalu takut untuk merasakan sakit. Aku mendongak dan melihat kunci mobil menyembul keluar dari ranselnya.
Aku berkata pada adikku untuk terus mengawasi temanku, dan aku meraih kunci itu untuk membawa mobilnya. Aku berlari kembali ke mobil. Di jendela depan ada kucing yang telah kami kubur sebelumnya, tertutup oleh kotoran dan darah. Kakiku terasa begitu lemas, dan aku tak punya pilihan selain berdiri di situ sampai aku merasa lebih stabil. Aku mendengar gagak berkoak-koak dari suatu tempat.
Apakah gagak-gagak itu menggalinya? Otakku kosong kecuali untuk satu pemikiran itu. Aku masih tak mampu bergerak. Lamunanku pecah saat aku mendengar adikku berteriak padaku.
 “Apa yang kau lakukan?!” aku menoleh untuk melihat dia sedang menyeret temanku keluar taman. Dari jarakku berad, aku hanya berani berkata bahwa lehernya terlihat aneh. Lehernya lebih gelap dari kulitnya. Temanku masih bergerak-gerak tak wajar. Kucing itu masih mati. Dan sesuatu dalam diriku tersentak.
 “Aaaaghhh!” aku berteriak tak terkendali. Aku mengambil kucing tiu dengan tangan kosong dan melemparnya. Aku masih bisa merasakan bulu yang lengket, basah dan dingin dalam pikiranku.
Kami semua berusaha masuk ke dalam mobil, dan aku mengemudi menuruni gunung. Selusin gagak menabrak mobil saat kami melalui jalan berangin, mesin mati tiga kali, dan sesuatu yang lain yang tak bisa di jelaskan terjadi. Sederhananya, katakan saja aku takut.
Di kaki gunung, aku melihat sebuah kuil. Aku cepat-cepat memotong jalan dan menuju ke sana. Aku berteiak minta tolong saat aku melihat seorang gadis yang ternyata bekerja di sana, dan  kami terus berlari menuju gerbang. Gadis itu terbelalak melihat kami dan memanggil pendeta saat dia melihat darah di wajahku. Temanku keluar dari mobil dan berjalan dengan goyah mengejar kami. Dia mencapai batas kuil dan berdiri di sana, menggumamkan kata-kata tak keruan pada dirinya sendiri. Aku dan adikku masing-masing meraih tangannya ke dalam dan menjelaskan semuanya pada pendeta.
 “Baiklah, aku mengerti apa yang kau katakan,” kata pendeta itu dengan tenang, “tetapi kalian berdua harus ke rumah sakit. Aku akan mencoba berbicara pada sesuatu yang merasuki temanmu di sini.”
Kami segera pergi menuju rumah sakit terdekat. Leher adikku jelas tertanda oleh jejak tangan dari saat temanku mencekiknya. Saat kami sampai di depan rumah sakit, aku jatuh pingsan dan tak ingat apa-apa.
Adikku memberitahuku segalanya saat aku bangun. Tampaknya aku kehilangan banyak darah, dan dia bahkan langsung mendonorkan darahnya karena cocok. Aku akhirnya butuh jahitan saat mereka mencabut semua kaca dari wajahku, dan bahkan polisipun dipanggil.
Hari selanjutnya, kami kembali ke kuil. Pendeta melakukan ritual pembersihan pada kami. Syukurlah, beliau tidak marah pada kami, tetapi beliau mengatakan bahwa situasi sedikit seram. Temanku dikirim ke rumah sakit, dan dia tak sadarkan diri selama seminggu penuh.
Atas saran seng pendeta, orang tua temanku sepakat untuk meninggalkan mobilnya di sana karena mobil itupun dihantui. Leher adikku baik-baik saja sepanjang jalan, tetapi dia terjatuh di beberapa titik dan lukanya cukup parah sehingga ia pincang. Sama sepertiku, beberapa kaca masuk ke mataku. Tak ada cara untuk mengeluarkan semuanya, dan dokter yakin suatu saat nanti aku akan buta.

Ini peringatan untuk siapapun yang pergi ke tempat angker. Coba dan belajarlah dari kesalahan kami.
***
source: Okaruto
translated by: Kuro-chan

The Mysterious Box and The Ominous Thing


Keluarga Kato tinggal di sebuah desa kecil di sebuah prefektur. Sang kakek, Takamasa, pria berusia 99 tahun yang tak pernah meninggalkan tempat tidurnya; cucunya yang berusia 5 tahun,Ken; dan orang tua Ken, Atsuko dan Takao.
Setiap hari, Atsuko dan Takao pergi bekerja. Ken anak yang penasaran, dan dia menghabiskan waktunya untuk mengeksplorasi rumah seolah dia sedang berpetualang. Suatu hari, dia membuka sebuah pintu geser ke sebuah lemari dinding dan melihat salah satu dari papan yang menutupi pintu masuk ke loteng berpindah ke samping. Lelah menelusuri beberapa ruangan yang sama hari ke hari, dia memanjat tumpukan kasur di lemari itu dan memanjat ke langit-langit.
Loteng itu jauh lebih gelap dari yang Ken kira, dan jantungnya mulai berpacu seperti ketidakpastian menjalari punggungnya. Tetapi rasa penasaran telah menguasainya, dan dia pun melanjutkan lebih jauh menuju kegelapan. Setelah merasa mengelilingi ruangan dengan kaki dan tangannya, dia menabrak sebuah kotak di lantai.
 “Bila benda ini tersembunyi di atas sini, ini pasti sesuatu yang sangat keren!” ucapnya pada diri sendiri. Dia mencoba membawa kotak itu ke bawah bersamanya, tapi itu sangat berat untuknya. Bagi anak kecil, kotak seberat 10 kg itu terlalu berat untuk dibawa. Tetapi, Ken tidak ingin menyerah demi harta karunnya, sehingga dia mulai mendorong dan menariknya menuju cahaya yang merambat melalui pintu masuk.
Semakin dekat dia ke cahaya, semakin jelas dia bisa melihat kotak itu. Akhirnya dia bisa melihat desain sisi yang berhadapan dengan cahaya. Kotak itu berwarna hitam dengan beberapa bagian bercat putih. Tutupnya terkunci oleh sebuah segel kertas hitam yang tebal.
Dia terus menarik kotak itu lebih dekat. Desainnya menjadi lebih jelas. Anak itu terkejut saat menemukan bahwa daripada hitam dengan titik-titik putih, kotak itu sebenarnya sebuah kotak putih dengan tulisan hitam yang melekat menutupi sisi luar. Tutupnya juga sama – tulisan hitam yang menutupi dasar putih. Ada kertas-kertas putih yang juga tertutupi oleh tulisan hitam.
Ken melihat ke belakang untuk melihat seberapa jauh ia dari pintu masuk. Dia hanya berjarak satu meter. Dia kembali ke kotak itu dan menyadari sesuatu yang ganjil. Kertas-kertas yang menutupi sisi kotak itu merupakan mantra dari kitab Buddha. Kertas-kertas yang menutupi tutupnya merupakan jimat.
Secepat kesadaran menyergapnya, ketakutan menjalari tubuhnya seperti sengatan listrik.
Tap... tap... di waktu yang sama, langkah kaki terdengar dari suatu tempat di depannya. Apapun itu, Ken tahu bahwa ia tak ingin melihatnya. Dia mencoba bangun dan berlari, tapi kakinya gemetar karena ketakutan.
Apapun yang ada di loteng dengannya perlahan menarik mendekat. Belum lama, Ken bisa melihat bentuknya dalam cahaya dari bawah. Jika sosok itu datang mendekat, dia akan melihatnya, dia akan tahu wajahnya..... dan itu adalah hal terakhir yang dia inginkan.
Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, anak itu terjatuh dari loteng dan mendarat di kasur di bawahnya. Dia menegakkan dirinya dan mendongak hanya untuk melihat kakeknya yang tak pernah meniggalkan tempat tidurnya, kurang lebih ruangannya. Ken memandang pria itu, tercengang.
 “Pergi!” teriak Takamasa. Ken sangat bingung, dia tak mapu bergerak. “Sudah cukup!”
Takamasa mengangkat wajahnya. Dia tampaknya tak memperhatikan Ken yang duduk tepat di depannya. Dia memandang tajam ke pintu masuk loteng – pada sesuatu yang bersembunyi di atas sana. Dia masih berdiri karena apa yang terlihat sangat lama sebelum akhirnya kembali berbicara.
 “Ken, aku ingin kau pergi ke kamarku sekarang juga, dan jangan melihat ke belakangmu. Kau mengerti, nak? Jangan melihat ke belakang sampai aku perintahkan.”
Tanpa mengerti apa yang terjadi, Ken berlari ke kamar kakeknya secepat yang ia bisa. Dia berdiri di tengah ruangan, kaget dan bingung. Setelah lima menit, Takamasa perlahan berjalan kembali ke kamar, bergerak goyah. Dia tampak seperti akan pingsan kapanpun. Sebanyak yang ia bisa, Ken mendukung kakeknya dan membantunya kembali ke tempat tidur. Pria itu bernafas lega segera setelah berbaring.
 “Ken, itu... Itu adalah... “ kata Takamasa dengan suara tegang, tapi dia tidak meneruskan sebelum suara pintu geser ke dinding di depan ruangan bergema di lorong. Di saat yang sama, suara langkah kaki mengikuti sesaat kemudian.
Takamasa meraih tangan Ken dan menarik anak itu ke bawah selimut dengannya. Walaupun dia sudah tua, dia masih cukup kuat.
Pintu kamarnya perlahan terbuka. Ken bisa merasakan tubuh pria itu gemetar hebat. Dia membisikkan sesuatu, dan saat Ken tak bisa memahaminya dia mendengar kata-kata “Aku menyesal,” “Maafkan aku,” dan “Kumohon, jangan sakiti anak ini!” Pandangan Ken menjadi kabur, dan perlahan diapun tak sadarkan diri.
Sebelum benar-benar pingsan, Ken melihat sesosok kaki dari bawah selimut. Kulitnya ungu seperti busuk, dan tambalan-tambalan yang tampak mengelupas.
Saat dia terbangun, Ken sendirian di tempat tidur kakeknya, dan telah lewat lima jam sejak dia meninggalkan loteng. Dia mencari Takamasa ke seluruh rumah tapi dia tak menemukan jejak kakeknya. Saat Atsuko dan Takao kembali, mereka memanggil polisi tetapi tak ada apapun dari pencarian itu.
Seminggu setelah kakeknya menghilang, Ken pergi ke kamar yang terhubung dengan loteng. Dia takut, tetapi dia butuh jawaban. Dia membuka pintu dinding, tangannya gemetar, dan menemukan bahwa jalan menuju loteng telah ditutup. Anak itu merasa seperti begitu lega dan mulai menggeser menutup pintu lagi.

Dan kemudian dia melihatnya. Jimat yang selalu dijaga kakeknya sepanjang waktu terjepit di antara papan-papan yang menutup loteng.
***
source : Okaruto
translated by: Kuro-chan