Ini terjadi awal tahun ini di sebuah taman hiburan yang terbengkalai tak
jauh dari kampung halamanku. Taman itu ditutup dua atau tiga tahun yang lalu,
dan aku mendengar rumor bahwa orang-orang tuna wisma berkumpul di sana. Aku,
adikku, dan temanku setuju untuk mengeceknya.
Untuk menuju
taman itu, kau harus naik gunung, dan temanku mengantar kami dengan mobil. Saat
itu tengah musim panas dan sangat panas sehingga kami membuka lebar-lebar semua
jendela mobil. Sekitar saat kami mulai naik gunung, aku mulai menyadari agas
terbang melayang di dalam mobil. Awalnya aku tak terlalu mempedulikan
serangga-seranga itu, tetapi semakin jauh kami mengemudi, agas-agas itu semakin
mengganggu. Aku bisa mendengar mereka terbang di sekitar telingaku, dan mereka
terbang ke mulut dan mataku. Kami semua sungguh merasa sangat terganggu oleh
serangga-serangga itu, akhirnya temanku meminggirkan mobilnya ke tepi jalan dan
kamipun keluar.
Sesaat
setelah aku menutup pintu mobil di belakangku, aku mendengar suara kucing
mengeong dari suatu tempat di dekatku. Aku mencari-cari di sekitar dan melihat
seekor kucing putih kurus di sebuah rumpun bambu di seberang jalan. Kucing itu
awalnya malu-malu, tetapi kami mengambil makanan kami dan mulai mencuil
potongan roti dan melemparkannya ke arah kucing itu. Setelah sempat ragu-ragu,
kucing itu pun perlahan datang mendekati kami, selangkah demi selangkah.
Sekali
kucing itu melangkah keluar dari bayangan, kami semua terhenyak. Kucing itu
kehilangan telinga kanannya, dan darah telah mengering di kepalanya. Mata
kanannya pun rusak, dan melihat luka-luka itu membuat hatiku sakit. Aku pikir
mungkin seekor hewan yang tersesat telah menyerangnya, dan aku memutuskan
memberikan sisa makanan kami berharap bisa membuatnya bertahan lebih lama.
Setelah mengosongkan bungkusan roti terakhir yang kami bawa, kami kembali ke
mobil dan melanjutkan perjalanan kami ke gunung.
Tepat
sebelum kami bergerak, aku melihat kembali kucing itu. Ia makan rotinya secepat
yang ia bisa, tetapi dua gagak menukik turun dari angkasa untuk menyerangnya.
Aku tak mampu bergerak, tetapi adikku melompat keluar dari mobil dan mulai
mengibaskan jaketnya ke sekitar gagak-gagak itu. Gagak-gagak itu meraih
beberapa potong roti dan terbang menjauh.
Aku dan
temanku keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Kucin itu tergeletak
di tanah, darah menodai wajah dan perutnya. Kami berjongkok di samping kucing
itu saat nafas kucing itu melambat dan akhirnya berhenti. Kami sepakat
sebaiknya kami menguburnya, dan kami membawanya kembali ke rumpun bambu di mana
dia berasal. Selama kami memberikan upacara pemakaman mendadak, gagak-gagak itu
beterbangan di atas kepala, berkoak-koak untuk kucing mati itu. Karena gagak
terkadang akan menyerang manusia, kami terburu-buru secepat yang kami bisa
sebelum kembali ke mobil untuk pergi ke taman hiburan.
Saat kami
tiba, kami datang menghampiri seseorang yang tampaknya mantan pekerja masuk ke
taman itu. Kami melihat-lihat sekitar kami dan masuk ke dalam. Kami
berjalan-jalan sebentar, tapi hal terburuk yang kami lihat adalah gelas pecah
dan kondom di sana sini. Kami mengambil beberapa gambar dengan kamera polaroid,
tapi tak nampak apapun dalam foto.
Tetapi di
jalan kami kembali, sesuatu yang terburuk terjadi. Kami melewati sebuah wahana
rumah hantu saat kami menyadari sebuah manekin dengan gaun merah yang tampak
seolah dibawa keluar. Manekin itu tergeletak dengan punggungnya yang menghadap
ke kanan. Tonggeret, yang sedari tadi bersuara sangat keras, tiba-tiba semuanya
terbang ke beberapa sinyal yang sama sekali tak kami sadari. Kami semuapun
berteriak dan menunduk bersama.
Semua
menjadi senyap sesaat setelah tonggeret-tonggeret itu pergi. Tapi itu bukanlah
kesunyian yang biasa. Entah bagaimana terasa mati, dan aku mulai berkeringat
dingin. Aku melihat ke temanku dan menyadari bahwa dia terpaku di tempat,
menatap sebuah titik tanpa berkedip.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku, menempatkan
tanganku ke bahunya.
“Manekin itu... bukankah semenit yang lalu
benda itu menghadap kanan?” suaranya bergetar, dan aku pikir dia mungkin
menangis.
Dia
berbicara tentang manekin yang sekarang langsung ada di belakangku. Aku merasa
bulu kudukku berdiri. Aku berbalik dan melihat manekin itu sekarang menghadap
kiri – menghadap kami.
Tiba-tiba
saja temanku berteriak, dan aku berbalik padanya. Air liur menetes dari
mulutnya, dan jemarinya bergerak dalam posisi yang tak wajar seolah bergerak
sendiri. Aku terpaku di tempat, tetapi adikku berpikir untuk menggendong
temanku di punggungnya. Dia berlari ke arah pintu keluar, dan aku berusaha
untuk segera mengikutinya.
Aku
tergesa-gesa di depan mereka, memastikan tak pergi terlalu jauh. Tiba-tiba aku
mendengar adikku berteriak. Aku berbalik dan melihat temanku mencekik adikku
dari belakang. Aku berteriak kepadanya untuk berhenti, air mata mengalir dari
mataku, dan aku memukul keras punggungnya dengan tinjuku. Dia mengerang dan
melepaskan pegangannya dari leher adikku. Diapun mengambil kesempatan untuk
lari menuju pintu keluar lagi. Dia kembali memegang leher adikku, dan aku mulai
memukul punggungnya lagi. Kami mengulang proses itu beberapa kali sebelum
akhirnya mencapai pintu keluar.
Adikku
hampir di puncak kepanikan, dan temanku berjalan dengan aneh kembali menuju
pintu masuk seolah ia ingin kembali ke taman. Aku meraih lengannya untuk
menariknya kembali, dan dengan kekuatan yang tak pernah kubayangkan datang dari
dirinyanya, dia mendorongku jatuh ke tanah. Wajahku mendarat di sebuah tumpukan
pecahan kaca, tetapi aku terlalu takut untuk merasakan sakit. Aku mendongak dan
melihat kunci mobil menyembul keluar dari ranselnya.
Aku berkata
pada adikku untuk terus mengawasi temanku, dan aku meraih kunci itu untuk
membawa mobilnya. Aku berlari kembali ke mobil. Di jendela depan ada kucing
yang telah kami kubur sebelumnya, tertutup oleh kotoran dan darah. Kakiku terasa
begitu lemas, dan aku tak punya pilihan selain berdiri di situ sampai aku
merasa lebih stabil. Aku mendengar gagak berkoak-koak dari suatu tempat.
Apakah
gagak-gagak itu menggalinya? Otakku kosong kecuali untuk satu pemikiran itu.
Aku masih tak mampu bergerak. Lamunanku pecah saat aku mendengar adikku
berteriak padaku.
“Apa yang kau lakukan?!” aku menoleh untuk
melihat dia sedang menyeret temanku keluar taman. Dari jarakku berad, aku hanya
berani berkata bahwa lehernya terlihat aneh. Lehernya lebih gelap dari
kulitnya. Temanku masih bergerak-gerak tak wajar. Kucing itu masih mati. Dan
sesuatu dalam diriku tersentak.
“Aaaaghhh!” aku berteriak tak terkendali. Aku
mengambil kucing tiu dengan tangan kosong dan melemparnya. Aku masih bisa
merasakan bulu yang lengket, basah dan dingin dalam pikiranku.
Kami semua
berusaha masuk ke dalam mobil, dan aku mengemudi menuruni gunung. Selusin gagak
menabrak mobil saat kami melalui jalan berangin, mesin mati tiga kali, dan
sesuatu yang lain yang tak bisa di jelaskan terjadi. Sederhananya, katakan saja
aku takut.
Di kaki
gunung, aku melihat sebuah kuil. Aku cepat-cepat memotong jalan dan menuju ke
sana. Aku berteiak minta tolong saat aku melihat seorang gadis yang ternyata
bekerja di sana, dan kami terus berlari
menuju gerbang. Gadis itu terbelalak melihat kami dan memanggil pendeta saat
dia melihat darah di wajahku. Temanku keluar dari mobil dan berjalan dengan
goyah mengejar kami. Dia mencapai batas kuil dan berdiri di sana, menggumamkan
kata-kata tak keruan pada dirinya sendiri. Aku dan adikku masing-masing meraih
tangannya ke dalam dan menjelaskan semuanya pada pendeta.
“Baiklah, aku mengerti apa yang kau katakan,”
kata pendeta itu dengan tenang, “tetapi kalian berdua harus ke rumah sakit. Aku
akan mencoba berbicara pada sesuatu yang merasuki temanmu di sini.”
Kami segera
pergi menuju rumah sakit terdekat. Leher adikku jelas tertanda oleh jejak
tangan dari saat temanku mencekiknya. Saat kami sampai di depan rumah sakit,
aku jatuh pingsan dan tak ingat apa-apa.
Adikku
memberitahuku segalanya saat aku bangun. Tampaknya aku kehilangan banyak darah,
dan dia bahkan langsung mendonorkan darahnya karena cocok. Aku akhirnya butuh
jahitan saat mereka mencabut semua kaca dari wajahku, dan bahkan polisipun
dipanggil.
Hari
selanjutnya, kami kembali ke kuil. Pendeta melakukan ritual pembersihan pada
kami. Syukurlah, beliau tidak marah pada kami, tetapi beliau mengatakan bahwa
situasi sedikit seram. Temanku dikirim ke rumah sakit, dan dia tak sadarkan
diri selama seminggu penuh.
Atas saran
seng pendeta, orang tua temanku sepakat untuk meninggalkan mobilnya di sana
karena mobil itupun dihantui. Leher adikku baik-baik saja sepanjang jalan,
tetapi dia terjatuh di beberapa titik dan lukanya cukup parah sehingga ia
pincang. Sama sepertiku, beberapa kaca masuk ke mataku. Tak ada cara untuk
mengeluarkan semuanya, dan dokter yakin suatu saat nanti aku akan buta.
Ini
peringatan untuk siapapun yang pergi ke tempat angker. Coba dan belajarlah dari
kesalahan kami.
***
source: Okaruto
translated by: Kuro-chan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar