Jumat, 10 Juni 2016

Haunted


Ini terjadi awal tahun ini di sebuah taman hiburan yang terbengkalai tak jauh dari kampung halamanku. Taman itu ditutup dua atau tiga tahun yang lalu, dan aku mendengar rumor bahwa orang-orang tuna wisma berkumpul di sana. Aku, adikku, dan temanku setuju untuk mengeceknya.
Untuk menuju taman itu, kau harus naik gunung, dan temanku mengantar kami dengan mobil. Saat itu tengah musim panas dan sangat panas sehingga kami membuka lebar-lebar semua jendela mobil. Sekitar saat kami mulai naik gunung, aku mulai menyadari agas terbang melayang di dalam mobil. Awalnya aku tak terlalu mempedulikan serangga-seranga itu, tetapi semakin jauh kami mengemudi, agas-agas itu semakin mengganggu. Aku bisa mendengar mereka terbang di sekitar telingaku, dan mereka terbang ke mulut dan mataku. Kami semua sungguh merasa sangat terganggu oleh serangga-serangga itu, akhirnya temanku meminggirkan mobilnya ke tepi jalan dan kamipun keluar.
Sesaat setelah aku menutup pintu mobil di belakangku, aku mendengar suara kucing mengeong dari suatu tempat di dekatku. Aku mencari-cari di sekitar dan melihat seekor kucing putih kurus di sebuah rumpun bambu di seberang jalan. Kucing itu awalnya malu-malu, tetapi kami mengambil makanan kami dan mulai mencuil potongan roti dan melemparkannya ke arah kucing itu. Setelah sempat ragu-ragu, kucing itu pun perlahan datang mendekati kami, selangkah demi selangkah.
Sekali kucing itu melangkah keluar dari bayangan, kami semua terhenyak. Kucing itu kehilangan telinga kanannya, dan darah telah mengering di kepalanya. Mata kanannya pun rusak, dan melihat luka-luka itu membuat hatiku sakit. Aku pikir mungkin seekor hewan yang tersesat telah menyerangnya, dan aku memutuskan memberikan sisa makanan kami berharap bisa membuatnya bertahan lebih lama. Setelah mengosongkan bungkusan roti terakhir yang kami bawa, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan kami ke gunung.
Tepat sebelum kami bergerak, aku melihat kembali kucing itu. Ia makan rotinya secepat yang ia bisa, tetapi dua gagak menukik turun dari angkasa untuk menyerangnya. Aku tak mampu bergerak, tetapi adikku melompat keluar dari mobil dan mulai mengibaskan jaketnya ke sekitar gagak-gagak itu. Gagak-gagak itu meraih beberapa potong roti dan terbang menjauh.
Aku dan temanku keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi. Kucin itu tergeletak di tanah, darah menodai wajah dan perutnya. Kami berjongkok di samping kucing itu saat nafas kucing itu melambat dan akhirnya berhenti. Kami sepakat sebaiknya kami menguburnya, dan kami membawanya kembali ke rumpun bambu di mana dia berasal. Selama kami memberikan upacara pemakaman mendadak, gagak-gagak itu beterbangan di atas kepala, berkoak-koak untuk kucing mati itu. Karena gagak terkadang akan menyerang manusia, kami terburu-buru secepat yang kami bisa sebelum kembali ke mobil untuk pergi ke taman hiburan.
Saat kami tiba, kami datang menghampiri seseorang yang tampaknya mantan pekerja masuk ke taman itu. Kami melihat-lihat sekitar kami dan masuk ke dalam. Kami berjalan-jalan sebentar, tapi hal terburuk yang kami lihat adalah gelas pecah dan kondom di sana sini. Kami mengambil beberapa gambar dengan kamera polaroid, tapi tak nampak apapun dalam foto.
Tetapi di jalan kami kembali, sesuatu yang terburuk terjadi. Kami melewati sebuah wahana rumah hantu saat kami menyadari sebuah manekin dengan gaun merah yang tampak seolah dibawa keluar. Manekin itu tergeletak dengan punggungnya yang menghadap ke kanan. Tonggeret, yang sedari tadi bersuara sangat keras, tiba-tiba semuanya terbang ke beberapa sinyal yang sama sekali tak kami sadari. Kami semuapun berteriak dan menunduk bersama.
Semua menjadi senyap sesaat setelah tonggeret-tonggeret itu pergi. Tapi itu bukanlah kesunyian yang biasa. Entah bagaimana terasa mati, dan aku mulai berkeringat dingin. Aku melihat ke temanku dan menyadari bahwa dia terpaku di tempat, menatap sebuah titik tanpa berkedip.
 “Kau baik-baik saja?” tanyaku, menempatkan tanganku ke bahunya.
 “Manekin itu... bukankah semenit yang lalu benda itu menghadap kanan?” suaranya bergetar, dan aku pikir dia mungkin menangis.
Dia berbicara tentang manekin yang sekarang langsung ada di belakangku. Aku merasa bulu kudukku berdiri. Aku berbalik dan melihat manekin itu sekarang menghadap kiri – menghadap kami.
Tiba-tiba saja temanku berteriak, dan aku berbalik padanya. Air liur menetes dari mulutnya, dan jemarinya bergerak dalam posisi yang tak wajar seolah bergerak sendiri. Aku terpaku di tempat, tetapi adikku berpikir untuk menggendong temanku di punggungnya. Dia berlari ke arah pintu keluar, dan aku berusaha untuk segera mengikutinya.
Aku tergesa-gesa di depan mereka, memastikan tak pergi terlalu jauh. Tiba-tiba aku mendengar adikku berteriak. Aku berbalik dan melihat temanku mencekik adikku dari belakang. Aku berteriak kepadanya untuk berhenti, air mata mengalir dari mataku, dan aku memukul keras punggungnya dengan tinjuku. Dia mengerang dan melepaskan pegangannya dari leher adikku. Diapun mengambil kesempatan untuk lari menuju pintu keluar lagi. Dia kembali memegang leher adikku, dan aku mulai memukul punggungnya lagi. Kami mengulang proses itu beberapa kali sebelum akhirnya mencapai pintu keluar.
Adikku hampir di puncak kepanikan, dan temanku berjalan dengan aneh kembali menuju pintu masuk seolah ia ingin kembali ke taman. Aku meraih lengannya untuk menariknya kembali, dan dengan kekuatan yang tak pernah kubayangkan datang dari dirinyanya, dia mendorongku jatuh ke tanah. Wajahku mendarat di sebuah tumpukan pecahan kaca, tetapi aku terlalu takut untuk merasakan sakit. Aku mendongak dan melihat kunci mobil menyembul keluar dari ranselnya.
Aku berkata pada adikku untuk terus mengawasi temanku, dan aku meraih kunci itu untuk membawa mobilnya. Aku berlari kembali ke mobil. Di jendela depan ada kucing yang telah kami kubur sebelumnya, tertutup oleh kotoran dan darah. Kakiku terasa begitu lemas, dan aku tak punya pilihan selain berdiri di situ sampai aku merasa lebih stabil. Aku mendengar gagak berkoak-koak dari suatu tempat.
Apakah gagak-gagak itu menggalinya? Otakku kosong kecuali untuk satu pemikiran itu. Aku masih tak mampu bergerak. Lamunanku pecah saat aku mendengar adikku berteriak padaku.
 “Apa yang kau lakukan?!” aku menoleh untuk melihat dia sedang menyeret temanku keluar taman. Dari jarakku berad, aku hanya berani berkata bahwa lehernya terlihat aneh. Lehernya lebih gelap dari kulitnya. Temanku masih bergerak-gerak tak wajar. Kucing itu masih mati. Dan sesuatu dalam diriku tersentak.
 “Aaaaghhh!” aku berteriak tak terkendali. Aku mengambil kucing tiu dengan tangan kosong dan melemparnya. Aku masih bisa merasakan bulu yang lengket, basah dan dingin dalam pikiranku.
Kami semua berusaha masuk ke dalam mobil, dan aku mengemudi menuruni gunung. Selusin gagak menabrak mobil saat kami melalui jalan berangin, mesin mati tiga kali, dan sesuatu yang lain yang tak bisa di jelaskan terjadi. Sederhananya, katakan saja aku takut.
Di kaki gunung, aku melihat sebuah kuil. Aku cepat-cepat memotong jalan dan menuju ke sana. Aku berteiak minta tolong saat aku melihat seorang gadis yang ternyata bekerja di sana, dan  kami terus berlari menuju gerbang. Gadis itu terbelalak melihat kami dan memanggil pendeta saat dia melihat darah di wajahku. Temanku keluar dari mobil dan berjalan dengan goyah mengejar kami. Dia mencapai batas kuil dan berdiri di sana, menggumamkan kata-kata tak keruan pada dirinya sendiri. Aku dan adikku masing-masing meraih tangannya ke dalam dan menjelaskan semuanya pada pendeta.
 “Baiklah, aku mengerti apa yang kau katakan,” kata pendeta itu dengan tenang, “tetapi kalian berdua harus ke rumah sakit. Aku akan mencoba berbicara pada sesuatu yang merasuki temanmu di sini.”
Kami segera pergi menuju rumah sakit terdekat. Leher adikku jelas tertanda oleh jejak tangan dari saat temanku mencekiknya. Saat kami sampai di depan rumah sakit, aku jatuh pingsan dan tak ingat apa-apa.
Adikku memberitahuku segalanya saat aku bangun. Tampaknya aku kehilangan banyak darah, dan dia bahkan langsung mendonorkan darahnya karena cocok. Aku akhirnya butuh jahitan saat mereka mencabut semua kaca dari wajahku, dan bahkan polisipun dipanggil.
Hari selanjutnya, kami kembali ke kuil. Pendeta melakukan ritual pembersihan pada kami. Syukurlah, beliau tidak marah pada kami, tetapi beliau mengatakan bahwa situasi sedikit seram. Temanku dikirim ke rumah sakit, dan dia tak sadarkan diri selama seminggu penuh.
Atas saran seng pendeta, orang tua temanku sepakat untuk meninggalkan mobilnya di sana karena mobil itupun dihantui. Leher adikku baik-baik saja sepanjang jalan, tetapi dia terjatuh di beberapa titik dan lukanya cukup parah sehingga ia pincang. Sama sepertiku, beberapa kaca masuk ke mataku. Tak ada cara untuk mengeluarkan semuanya, dan dokter yakin suatu saat nanti aku akan buta.

Ini peringatan untuk siapapun yang pergi ke tempat angker. Coba dan belajarlah dari kesalahan kami.
***
source: Okaruto
translated by: Kuro-chan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar