Jumat, 10 Juni 2016

The Mysterious Box and The Ominous Thing


Keluarga Kato tinggal di sebuah desa kecil di sebuah prefektur. Sang kakek, Takamasa, pria berusia 99 tahun yang tak pernah meninggalkan tempat tidurnya; cucunya yang berusia 5 tahun,Ken; dan orang tua Ken, Atsuko dan Takao.
Setiap hari, Atsuko dan Takao pergi bekerja. Ken anak yang penasaran, dan dia menghabiskan waktunya untuk mengeksplorasi rumah seolah dia sedang berpetualang. Suatu hari, dia membuka sebuah pintu geser ke sebuah lemari dinding dan melihat salah satu dari papan yang menutupi pintu masuk ke loteng berpindah ke samping. Lelah menelusuri beberapa ruangan yang sama hari ke hari, dia memanjat tumpukan kasur di lemari itu dan memanjat ke langit-langit.
Loteng itu jauh lebih gelap dari yang Ken kira, dan jantungnya mulai berpacu seperti ketidakpastian menjalari punggungnya. Tetapi rasa penasaran telah menguasainya, dan dia pun melanjutkan lebih jauh menuju kegelapan. Setelah merasa mengelilingi ruangan dengan kaki dan tangannya, dia menabrak sebuah kotak di lantai.
 “Bila benda ini tersembunyi di atas sini, ini pasti sesuatu yang sangat keren!” ucapnya pada diri sendiri. Dia mencoba membawa kotak itu ke bawah bersamanya, tapi itu sangat berat untuknya. Bagi anak kecil, kotak seberat 10 kg itu terlalu berat untuk dibawa. Tetapi, Ken tidak ingin menyerah demi harta karunnya, sehingga dia mulai mendorong dan menariknya menuju cahaya yang merambat melalui pintu masuk.
Semakin dekat dia ke cahaya, semakin jelas dia bisa melihat kotak itu. Akhirnya dia bisa melihat desain sisi yang berhadapan dengan cahaya. Kotak itu berwarna hitam dengan beberapa bagian bercat putih. Tutupnya terkunci oleh sebuah segel kertas hitam yang tebal.
Dia terus menarik kotak itu lebih dekat. Desainnya menjadi lebih jelas. Anak itu terkejut saat menemukan bahwa daripada hitam dengan titik-titik putih, kotak itu sebenarnya sebuah kotak putih dengan tulisan hitam yang melekat menutupi sisi luar. Tutupnya juga sama – tulisan hitam yang menutupi dasar putih. Ada kertas-kertas putih yang juga tertutupi oleh tulisan hitam.
Ken melihat ke belakang untuk melihat seberapa jauh ia dari pintu masuk. Dia hanya berjarak satu meter. Dia kembali ke kotak itu dan menyadari sesuatu yang ganjil. Kertas-kertas yang menutupi sisi kotak itu merupakan mantra dari kitab Buddha. Kertas-kertas yang menutupi tutupnya merupakan jimat.
Secepat kesadaran menyergapnya, ketakutan menjalari tubuhnya seperti sengatan listrik.
Tap... tap... di waktu yang sama, langkah kaki terdengar dari suatu tempat di depannya. Apapun itu, Ken tahu bahwa ia tak ingin melihatnya. Dia mencoba bangun dan berlari, tapi kakinya gemetar karena ketakutan.
Apapun yang ada di loteng dengannya perlahan menarik mendekat. Belum lama, Ken bisa melihat bentuknya dalam cahaya dari bawah. Jika sosok itu datang mendekat, dia akan melihatnya, dia akan tahu wajahnya..... dan itu adalah hal terakhir yang dia inginkan.
Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, anak itu terjatuh dari loteng dan mendarat di kasur di bawahnya. Dia menegakkan dirinya dan mendongak hanya untuk melihat kakeknya yang tak pernah meniggalkan tempat tidurnya, kurang lebih ruangannya. Ken memandang pria itu, tercengang.
 “Pergi!” teriak Takamasa. Ken sangat bingung, dia tak mapu bergerak. “Sudah cukup!”
Takamasa mengangkat wajahnya. Dia tampaknya tak memperhatikan Ken yang duduk tepat di depannya. Dia memandang tajam ke pintu masuk loteng – pada sesuatu yang bersembunyi di atas sana. Dia masih berdiri karena apa yang terlihat sangat lama sebelum akhirnya kembali berbicara.
 “Ken, aku ingin kau pergi ke kamarku sekarang juga, dan jangan melihat ke belakangmu. Kau mengerti, nak? Jangan melihat ke belakang sampai aku perintahkan.”
Tanpa mengerti apa yang terjadi, Ken berlari ke kamar kakeknya secepat yang ia bisa. Dia berdiri di tengah ruangan, kaget dan bingung. Setelah lima menit, Takamasa perlahan berjalan kembali ke kamar, bergerak goyah. Dia tampak seperti akan pingsan kapanpun. Sebanyak yang ia bisa, Ken mendukung kakeknya dan membantunya kembali ke tempat tidur. Pria itu bernafas lega segera setelah berbaring.
 “Ken, itu... Itu adalah... “ kata Takamasa dengan suara tegang, tapi dia tidak meneruskan sebelum suara pintu geser ke dinding di depan ruangan bergema di lorong. Di saat yang sama, suara langkah kaki mengikuti sesaat kemudian.
Takamasa meraih tangan Ken dan menarik anak itu ke bawah selimut dengannya. Walaupun dia sudah tua, dia masih cukup kuat.
Pintu kamarnya perlahan terbuka. Ken bisa merasakan tubuh pria itu gemetar hebat. Dia membisikkan sesuatu, dan saat Ken tak bisa memahaminya dia mendengar kata-kata “Aku menyesal,” “Maafkan aku,” dan “Kumohon, jangan sakiti anak ini!” Pandangan Ken menjadi kabur, dan perlahan diapun tak sadarkan diri.
Sebelum benar-benar pingsan, Ken melihat sesosok kaki dari bawah selimut. Kulitnya ungu seperti busuk, dan tambalan-tambalan yang tampak mengelupas.
Saat dia terbangun, Ken sendirian di tempat tidur kakeknya, dan telah lewat lima jam sejak dia meninggalkan loteng. Dia mencari Takamasa ke seluruh rumah tapi dia tak menemukan jejak kakeknya. Saat Atsuko dan Takao kembali, mereka memanggil polisi tetapi tak ada apapun dari pencarian itu.
Seminggu setelah kakeknya menghilang, Ken pergi ke kamar yang terhubung dengan loteng. Dia takut, tetapi dia butuh jawaban. Dia membuka pintu dinding, tangannya gemetar, dan menemukan bahwa jalan menuju loteng telah ditutup. Anak itu merasa seperti begitu lega dan mulai menggeser menutup pintu lagi.

Dan kemudian dia melihatnya. Jimat yang selalu dijaga kakeknya sepanjang waktu terjepit di antara papan-papan yang menutup loteng.
***
source : Okaruto
translated by: Kuro-chan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar