Senin, 20 Juni 2016

The Honking Hearse


Seorang perempuan muda bernama Kana tinggal bersama orang tua dan neneknya. Neneknya selalu punya kebiasaan baik, tapi di tahun-tahun belakangan ini dia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk tidur dan dia menjadi semakin aneh. Dia tak hanya menjadi lebih manja dan lebih sering mengeluh kepada ibu Kana, yang merawatnya, tetapi juga mengatakan hal-hal yang sangat menyedihkan.
 “Kalian mungkin hanya menungguku mati,” dia terus mengulang dan mengulangnya. Mencoba membuatnya nyaman tampaknya hanya untuk menguatkan kepercayaannya. Akhirnya ibu Kana menjadi lebih cengeng dengan perawatannya, dan wanita tua itu berhenti mendapatkan cukup olahraga dan kualitas makanan untuknya menurun secara dramatis. Kesehatannya menurun tajam, dan pada akhirnya dia tak mampu bergerak maupun berbicara, tak pernah beranjak dari tempat tidur. Tempat tidurnya menjadi hidupnya, dan jelas bahwa dia hidup tak lama lagi.
Kamar Kana berada di lantai dua rumahnya, dan suatu malam saat dia tidur, dia terbangun karena suara sirine mobil bergema hingga ke kamarnya. Dia mencoba mengabaikannya dan kembali tidur, tetapi sirine mobil itu terus berbunyi. Mobil itu terus berbunyi, dan Kana pun marah karena tampaknya sang supir benar-benar kehilangan akal sehat.
Dia terdiam di tempat saat melihat mobil itu. Itu adalah mobil jenazah, dan mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dia tak bisa melihat apakah ada orang di dalamnya, tetapi tak tampak mesinnya sedang menyala. Dia memandang keluar selama beberapa saat, tetapi mobil itu terlihat diam saat ia melihatnya. Kana ketakutan dan kembali ke tempat tidurnya di mana dia menarik selimutnya menutupi kepala dan menunggu pagi. Sisa malam itu benar-benar sunyi.
Pagi itu, Kana bertanya pada orang tuanya apakah mereka mendengar sirine mobil jenazah di luar. Mereka tak mendengar apapun. Tak mungkin mereka tak mendengarnya jika mobil itu memang ada di luar sana, tetapi mereka tak tampak berbohong. Dia mencoba memikirkan sebuah alasan mereka mungkin tak mendengar apapun, tetapi hanya satu yang ada di pikirannya. Mungkin mobil jenazah itu datang untuk membawa neneknya. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal. Kana beranjak menuju kamar neneknya, tetapi dia tampak ‘sehat’ seperti biasa, semuanya telah dipertimbangkan.
Mobil jenazah kembali malam berikutnya, dan kemudia malam-malam setelahnya. Kana berusaha mengabaikannya, tetapi cukup aneh bahwa sirine terus berbunyi kecuali saat dia melihatnya. Dia mulai bersikap kurang waras akibat kurang tidur.
Hari ketujuh, orang tua Kana harus pergi mengunjungi seorang kerabat. Dia ingin pergi bersama mereka tetapi seseorang harus tinggal di rumah untuk mengawasi neneknya, dia diminta untuk tinggal. Karena penyakit syarafnya, dia memiliki masalah dalam memahami sudut pandang orang tuanya, dan akhirnya mereka tetap memaksanya untuk kembali ke rumah saat mereka pergi.
Kana takut. Dia tak ingin menceritakan orang tuanya mengapa dia begitu ingin keluar dari rumah, tetapi ketakutannya akan mobil jenazah lebih kuat dari kesendiriannya. Mencoba menghibur diri sendiri, dia menyalakan televisi. Dia terlalu takut akan kamar neneknya, sehingga dia mengabaikannya. Saat tiba waktu makan siang, dia hanya meniggalkan makanan neneknya di luar pintu daripada membawanya ke dalam. Orang tuanya seharusnya kembali saat sore, sehingga dia merasa neneknya akan baik-baik saja saat itu. Tetapi, waktu yang mereka janjikan untuk kembali berlalu tanpa ada tanda-tanda dari mereka.
Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Bel tengah malam berbunyi. Waktu kedatangan mobil jenazah semakin mendekat. Tetapi orang tuanya tak pernah pulang. Mereka bahkan tak menelepon. Kana mendengar sirine mobil jenazah di luar, tepat seperti malamnya minggu lalu. Dia terlalu takut untuk melihat keluar saat dia berada di lantai pertama, dia naik ke kamarnya untuk melihat mobil itu dari jendelanya.
Tetapi ada sesuatu yang aneh.
Biasanya mobil itu tampak kosong, tetapi ada beberapa orang berbaju hitam keluar dari mobil itu. Dia melihat saat mereka mendekati gerbang depan rumahnya. Apakah mereka akan masuk? Kana mulai panik. Bel rumah mulai berdering keras di dalam rumah yang sepi. Siapapun yand ada di pintu menekan bel rumah dengan ritme cepat yang tak berhenti. Deringan bel akhirnya berganti menjadi ketukan lembut di pintu dan perlahan ketukan itu menjadi semakin keras sampai pintu kayu itu terdengar akan patah.
Kana terdiam ketakutan. Tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa pintu depan tak terkunci. Semakin dia memikirkannya, semakin yakin ia bahwa siapapun itu akan bisa masuk ke dalam jika mereka memutuskan mencoba kenop pintu.
Dia melompat dari tempatnya dan berlari ke bawah menuju pintu depan. Tepat sebelum ia menyentuh kundi pintu, telepon di lorong berdering. Ketukan terus berlanjut, tetapi kaki Kana terpaku di tempat. Ketukan keras dan deringan telepon terlalu banyak untuk ditahan. Dia melihat di antara keduanya dan memilih untuk mengangkat telepon.
 “Halo? Halo?! Halo?!” teriaknya di telepon sekeras yang ia bisa sehingga siapapun yang menelepon bisa mendengarnya hingga orang-orang di luar pintu.
 “Apakah ini kediaman Murata?” suara lembut seorang pria di seberang sana bertentangan dengan apa yang sedang dialaminya. Sesuatu tentang tindakan orang itu membuat darahnya membeku. “Aku bersama polisi. Maaf, tapi aku ingin kau tetap tenang saat aku menceritakan ini. Orang tuamu tewas dalam sebuah kecelakaan tadi sore. Kau putri keluarga Murata, kan? Halo? Halo? Apakah kau di sana?”
Kana tak mampu mengatakan apapun ataupun bergerak. Cukup aneh, siapapun yang ada di pintu kini benar-benar diam. Pikirannya mulai berkecamuk. Apakah mobil jenazah itu datang untuk membawa orang tuanya dan bukan neneknya? Jika itu masalahnya, kemudian apa yang terjadi pada neneknya?
Tiba-tiba, Kana merasakan sebuah tepukan di bahunya. Saat dia menoleh, dia kaget melihat neneknya, yang seharusnya tak mampu bergerak, berdiri di sana dengan sebuah senyuman di wajahnya.

 “Kau juga pergi!”

***
Translated by: Kuro-chan
Source: Okaruto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar